Hukum Kartu Kredit
Syariah

By way of. Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
Arab; bithaqah i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan
istilah Islamic card atau shariah card di dunia yang menuju much less money society
pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai
sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran
kontan dengan membawa uang tunai yang beresiko. Dalam beberapa literatur fiqih
kontemporer, standing hukumnya sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan)
yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan
transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit
(bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut
dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh
dan ijarah. Sementara dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card
(Bithaqah I’timan/Credit score Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu
yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem
yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana
diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan
sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah
dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
(QS. Yusuf:72). Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im”
dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi noticed.: “az-Za’im Gharim” artinya;
orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud,
Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah
karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62,
Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya
adalah akad tabarru’ (suka rela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin
karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin
berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak
meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetapi kalau
terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan
rasa terima kasihnya, maka sah-sah saja. Namun demikian, jika penjamin sendiri
yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit
dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka
dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila
diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi
bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Secara prinsip kartu
kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam prakteknya tidak bertransaksi
dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang
kepada penjamin lewat jatuh pace pembayaran atau menunggak. Di samping itu
ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan
pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan
asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada service provider,
penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit
tertentu.(Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol.
V/130-161)
Dengan demikian
dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (bank card)
yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan
mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga,
maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan
keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang
dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh pace agar tidak
membayar hutang. Hal ini berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya
sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum
pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu
Mas’ud bahwa: “Rasulullah noticed melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi
transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud
DSN-MUI dalam fatwanya
menetapkan hukum bahwa Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam fatwa. Ketentuan Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah; a.
Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang
Kartu terhadap Service provider atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transaksi antara Pemegang Kartu dengan Service provider, dan/atau penarikan tunai dari
selain financial institution atau ATM financial institution Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu
dapat menerima charge (ujrah kafalah). b. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu
adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui
penarikan tunai dari financial institution atau ATM financial institution Penerbit Kartu. c. Ijarah; dalam hal
ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan
terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan club
charge.
DSN-MUI mengatur
batasan penggunaan Syariah Card sebagai berikut ; a. Tidak menimbulkan riba, b.
Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, c. Tidak
mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain
menetapkan pagu maksimal pembelanjaan, d. Pemegang kartu utama harus memiliki
kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya, e. Tidak memberikan fasilitas
yang bertentangan dengan syariah.
Fatwa tersebut
dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa dalam rangka memberikan kemudahan,
keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan
tunai, Financial institution Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis Kartu Kredit, yaitu
alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk
transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana
kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau
penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban
pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Selain itu,
Kartu Kredit yang ada menggunakan sistem bunga (hobby) sehingga tidak sesuai
dengan prinsip Syariah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang
sesuai Syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa
tentang Syariah Card yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan
pedoman.
Ketentuan kartu kredit
ini merujuk kepada beberapa dalil di antaranya sebagai berikut; Firman Allah
SWT, antara lain: “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…” QS.
al-Maidah [5]:1. Selain itu QS. al-Isra’ [17]: 34, QS. Yusuf [12]: 72, QS.
al-Maidah [5]: 2, al-Furqan [25]: 67, QS. Al-Isra’ [17]: 26-27, QS. al-Qashash
[28]: 26, QS. al-Baqarah [2]: 275, QS. al-Nisa’[4]: 29, QS. al-Baqarah [2]:
282, QS. al-Baqarah [2]: 280.
Demikian pula merujuk
kepada Hadits Nabi s.a.w. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara
kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR
Tirmidzi), “Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang
lain.” HR. Ibnu Majah dan al-Daraquthni, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah
s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah
ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menshalatkannya.
Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia
mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah
temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah
berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun
menshalatkan jenazah tersebut.” HR. Bukhari, “Za’im (penjamin) adalah gharim
(orang yang menanggung utang)”. HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban, “Kami
pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah
melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya
dengan emas atau perak.” HR. Abu Dawud, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya.” HR. Abd ar-Razzaq, “Orang yang melepaskan seorang muslim dari
kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” HR.
Muslim, “…Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kezhaliman…” HR. Jama’ah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh
orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” HR.
Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dan “Orang yang terbaik di antara kamu
adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” HR. Bukhari
Kaidah Fiqh yang
menjadi dasar fatwa antara lain: a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” b. “Kesulitan dapat menarik
kemudahan.” c. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” d. “Sesuatu yang
berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan
syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).” e. “Menghindarkan kerusakan
(kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.”
Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat
fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam
kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78, Khatib Syarbaini dalam kitab
Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202, As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab,
juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah,
jilid 4, hal. 221-222, Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh
Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam,
jilid 5, hal. 542-543: “Letter of Credit score (L/C).
Adapun fatwa lain yang
menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah
al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar
al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan. Demikian
pula Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu a. No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Ijarah, b. No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, c.
No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran, d.No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh; e.No.43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ta’widh. Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu
kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Advert-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal
Ifta, Fatwa Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.
Saat ini sampai posisi
Mei 2009, perkembangan kartu kredit syariah atau shariah card yang sudah
dikenalkan di Indonesia dengan mengikuti fatwa DSN-MUI antara lain adalah
Dirham Card yang diterbitkan oleh Financial institution Danamon Syariah dan Hasanah Card yang
diterbitkan oleh Financial institution BNI Syariah. Dalam kondisi sementara dan alasan tertentu
dari kebutuhan transaksional di antaranya kepraktisan one invoice remark,
penggunaan kartu kredit konvensional untuk transaksi yang halal termasuk
pembayaran zakat maupun biaya ibadah lainnya dengan disertai komitmen
pemegangnya untuk dapat melunasi tagihan sebelum jatuh pace agar terhindar
dari pembayaran bunga tidak melanggar syariah, meskipun tetap dianjurkan untuk
menggantinya dengan shariah card yang ada bila memungkinkan. Islamisasi dan
memanfaatkan teknologi dan sistem pembayaran trendy seperti ini menjadi bukti
bahwa Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, pembawa kemudahan dan
kebaikan bagi semua. Wallahu A’lam.